Berkaca dari Nepal, Aksi Brutal Tidak Menyelesaikan Masalah

oleh -4 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Citra Anggraini

Kerusuhan politik di Nepal pada September 2025 menjadi salah satu tragedi paling serius dalam sejarah negeri Himalaya tersebut. Aksi demonstrasi yang semula berangkat dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemblokiran media sosial berubah menjadi gelombang kemarahan massal.

banner 336x280

Massa bukan hanya menuntut pencabutan kebijakan, tetapi juga melampiaskan amarah dengan cara-cara brutal yang merugikan banyak pihak. Menteri Luar Negeri Nepal, Arzu Deuba diserang secara fisik di kediamannya, sementara Menteri Keuangan, Bisnhu Paudel dikejar hingga tersungkur di jalanan. Bahkan, gedung parlemen Nepal ikut dibakar, rumah pejabat dihancurkan, dan korban jiwa terus berjatuhan.

Perdana Menteri Nepal, Khadga Prasad Sharma Oli akhirnya mengundurkan diri, namun langkah itu tidak serta-merta meredakan amarah publik. Kediaman mantan perdana menteri tersebut juga ikut dibakar massa. Situasi ini memperlihatkan bagaimana ekspresi ketidakpuasan yang tidak disalurkan secara bijak dapat menjelma menjadi kekacauan yang memperburuk keadaan. Alih-alih menghasilkan perubahan yang konstruktif, aksi brutal justru menjerumuskan Nepal ke dalam lingkaran kekerasan dan instabilitas.

Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Prof. Dr. H. Muhammad Ishom, menilai tragedi Nepal adalah contoh bagaimana kebebasan berekspresi yang tidak dijalankan dengan tanggung jawab bisa berujung pada kehancuran.

Menurut Ishom, kebebasan berpendapat memang penting dalam demokrasi, tetapi bila disertai tindakan anarkis, ia hanya menghasilkan perpecahan. Dalam konteks Indonesia, pengalaman Nepal menjadi pengingat agar ruang kebebasan yang telah dijamin konstitusi digunakan untuk memperkuat persatuan, bukan justru menciptakan konflik.

Media sosial menjadi salah satu pemicu utama krisis Nepal. Generasi muda yang bergantung pada platform digital untuk berkomunikasi dan bekerja merasa hak mereka dirampas ketika akses diblokir. Namun, alih-alih mengelola kemarahan secara damai, protes justru berkembang menjadi tindakan brutal yang menargetkan elite politik. Pelajaran yang bisa diambil Indonesia adalah bahwa ruang digital harus dijaga agar tidak menjadi lahan penyebaran hoaks, provokasi, dan manipulasi emosi.

Politisi Partai Demokrat, Andi Arief, juga menekankan bahwa kemarahan publik di Nepal tidak bisa disebut sebagai revolusi. Ia mengingatkan bahwa revolusi sejati, seperti yang dipimpin Lenin pada 1917, memiliki arah politik yang jelas dan dilakukan tanpa aksi penghancuran.

Sementara itu, fenomena di Nepal lebih mirip dengan anarkisme digital yang dipicu oleh propaganda viral tanpa kepemimpinan. Menurutnya, ledakan emosi yang dipandu algoritma media sosial hanya berujung pada situasi darurat militer, bukan perubahan struktur kekuasaan. Pandangan ini memperlihatkan betapa pentingnya literasi politik dan kedewasaan dalam menyampaikan pendapat, terutama bagi generasi muda.

Kementerian Luar Negeri Indonesia turut mengambil langkah cepat dalam merespons situasi darurat tersebut. Direktur Pelindungan WNI, Judha Nugraha, menegaskan bahwa seluruh warga negara Indonesia yang berada di Nepal dalam kondisi aman.

Berdasarkan data KBRI Dhaka yang memiliki akreditasi untuk Nepal, terdapat 57 WNI yang menetap di sana, 43 anggota delegasi konferensi internasional, dua personel TNI yang sedang menjalani pelatihan, serta 23 wisatawan. Pemerintah memastikan tidak ada satupun dari mereka yang terdampak kerusuhan.

Judha menjelaskan bahwa komunikasi intensif terus dilakukan dengan WNI di Nepal, termasuk melalui pertemuan daring. Langkah kontingensi juga telah disiapkan jika kondisi memburuk. Setelah bandara internasional di Kathmandu dibuka kembali, pemerintah mulai merencanakan pemulangan bertahap bagi WNI yang ingin kembali ke tanah air. Respons cepat ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi warganya di tengah situasi global yang tidak menentu.

Dari perspektif Indonesia, tragedi Nepal menegaskan bahwa aksi brutal tidak pernah menyelesaikan masalah. Kekerasan justru menimbulkan korban jiwa, kerusakan, dan ketidakpastian politik.

Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam mengelola demokrasi, perlu menjadikan kasus ini sebagai refleksi. Kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Setiap suara yang disampaikan masyarakat harus diarahkan untuk mencari solusi, bukan memperkeruh suasana.

Pendidikan politik dan literasi digital menjadi kunci untuk menghindari jebakan anarkisme digital. Masyarakat perlu dibekali kemampuan memilah informasi, memahami proses politik, dan menyampaikan pendapat dengan cara yang santun dan konstruktif.

Elite politik juga memiliki tanggung jawab moral untuk tidak memperkeruh keadaan dengan retorika yang memecah belah. Sebaliknya, mereka harus memberi teladan dalam berdialog, menghormati perbedaan, dan mencari titik temu demi persatuan bangsa.

Pengalaman Nepal juga menunjukkan pentingnya ruang dialog antara pemerintah dan rakyat. Ketika aspirasi ditampung secara terbuka dan bermartabat, potensi kekerasan bisa ditekan.

Presiden Prabowo Subianto telah berulang kali menekankan bahwa komunikasi dan musyawarah adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Arahan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional melalui jalur damai dan inklusif.

Indonesia memiliki modal sosial yang kuat untuk menghindari jalan buntu seperti yang dialami Nepal. Dengan menjaga persatuan, memperkuat literasi digital, dan mengedepankan etika dalam berpendapat, bangsa ini dapat memastikan bahwa demokrasi menjadi alat pemersatu, bukan pemecah.

Nepal telah memperlihatkan bahwa aksi brutal tidak pernah menyelesaikan masalah; justru memperburuk luka sosial yang ada. Karena itu, Indonesia harus terus waspada, belajar dari pengalaman negara lain, dan tetap setia pada jalur dialog serta demokrasi yang sehat.

)* Penulis adalah kontributor Forum Dialog Sosial Indonesia Raya

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.