Pemerintah Tegas Menindak Penyalahgunaan Bansos untuk Judi Daring

oleh -1 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh : Umar Adisusanto)*

Ketika bantuan sosial diberikan negara, harapannya adalah lahirnya ketahanan keluarga. Namun ketika bansos justru dihamburkan untuk berjudi daring, maka itu adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanat negara.

banner 336x280

Pemerintah melalui Kementerian Sosial menunjukkan sikap yang tegas dan tidak kompromi terhadap penyalahgunaan bantuan sosial, khususnya untuk aktivitas judi online. Berdasarkan hasil pemadanan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ditemukan lebih dari 600 ribu penerima bansos yang terindikasi terlibat dalam praktik ini. Dari angka tersebut, sebanyak 228 ribu lebih kini telah dihentikan bantuannya, sementara sisanya masih dalam proses evaluasi untuk triwulan selanjutnya.

Temuan ini mengejutkan sekaligus menyedihkan. Bansos semestinya menjadi bantalan ekonomi untuk kelompok paling rentan, mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, gizi anak, layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan bagi lansia serta penyandang disabilitas. Namun dalam praktiknya, ternyata ada segelintir penerima yang menyalahgunakan bantuan untuk memutar roda keberuntungan maya—sebuah tindakan yang tak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga mencederai kepercayaan publik.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan, penyaluran bansos harus tepat sasaran dan tidak digunakan untuk kepentingan konsumtif yang merusak. Ia menyebut bahwa langkah evaluasi ini adalah bentuk nyata komitmen negara dalam memastikan bahwa bantuan hanya diterima oleh mereka yang benar-benar layak dan tidak menyimpang dari tujuannya. Koordinasi dengan PPATK akan terus dilanjutkan, termasuk dengan pelacakan aliran dana lewat rekening para penerima.

Perlu dipahami, pemerintah tidak sedang bermain-main. Presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 telah menugaskan kementerian terkait untuk memperkuat sistem pengawasan berbasis data. Ke depan, seluruh Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos akan terus dipantau agar tidak ada celah penyalahgunaan. Ini adalah ikhtiar besar demi menjaga kredibilitas program perlindungan sosial.

Sikap tegas serupa juga datang dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam kunjungannya ke Boyolali, ia mengingatkan secara lugas agar bantuan seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU) tidak digunakan untuk praktik perjudian, baik daring maupun konvensional. Menurutnya, bantuan seperti BSU yang diberikan Rp600 ribu untuk dua bulan mestinya digunakan secara produktif, seperti membeli perlengkapan sekolah atau kebutuhan pokok, bukan untuk spekulasi nasib.

Apa yang disampaikan Gibran mencerminkan kekhawatiran yang sahih. Ia bahkan menegaskan, transaksi semacam itu dapat dilacak secara elektronik dan negara tak akan segan mengambil tindakan hukum. PPATK dan Kementerian Komunikasi dan Digital diminta untuk proaktif memantau aliran dana mencurigakan. Ini menandai era baru: transparansi dan akuntabilitas dalam sistem bansos tidak bisa ditawar.

Dampak dari judi daring tidaklah ringan. Psikolog Novy Yulianty mengungkapkan bahwa banyak pelaku judi terjebak dalam siklus biologis dan psikologis yang kompleks. Efek euforia dari kemenangan awal memicu pelepasan hormon dopamin di otak, yang kemudian menciptakan dorongan untuk terus bermain meski telah kalah berkali-kali. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak orang menggunakan judi sebagai pelarian dari stres atau kesulitan ekonomi. Mereka berharap akan ada ‘durian runtuh’ yang menyelesaikan masalah, padahal kenyataannya justru memperburuk.

Dalam banyak kasus, kekalahan tidak membuat jera. Sebaliknya, otak manusia justru mengingat kemenangan-kemenangan kecil yang bersifat ilusif. Siklus ini yang membuat individu terus mencoba lagi dan lagi. Maka, menurut Novy, proses keluar dari jeratan judi tidak cukup hanya dengan ceramah atau larangan, melainkan perlu pendekatan psikologis dan medis yang menyentuh akar persoalan.

Kini saatnya masyarakat menyadari bahwa judi daring adalah bentuk sabotase terhadap program keadilan sosial yang telah dirancang dengan serius oleh pemerintah. Ketika bantuan yang sedianya menyelamatkan hidup justru dijadikan alat kebinasaan, maka kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya ekonomi rumah tangga, tapi juga etika kolektif kita sebagai bangsa.

Program bansos di Indonesia dirancang untuk menjadi alat pemulihan struktural atas ketimpangan. Presiden bahkan memperluas cakupan bantuan dan menambahkan nominal untuk lebih dari 18 juta penerima pada triwulan kedua 2025. Langkah ini menunjukkan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Maka akan sangat ironis bila kesempatan ini justru disia-siakan demi perjudian.

Pemerintah membuka ruang pengaduan dan klarifikasi bagi masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil. Sistem verifikasi melibatkan Badan Pusat Statistik agar evaluasi tetap objektif dan transparan. Namun di sisi lain, masyarakat juga harus memiliki kesadaran etik: bahwa memutar bantuan sosial menjadi modal berjudi adalah pengkhianatan terhadap rasa keadilan publik.

Pendidikan literasi keuangan dan penguatan nilai-nilai moral menjadi kebutuhan mendesak. Masyarakat perlu diajak untuk membangun mindset produktif dan tidak tergoda oleh ilusi keberuntungan. Butuh kolaborasi lintas sektor—pendidikan, agama, media, dan komunitas—untuk memadamkan api judi daring yang telah menghanguskan banyak masa depan.

Negara telah menjalankan fungsinya: memberi, mengawasi, dan menindak. Kini giliran masyarakat mengambil peran untuk menjaga integritas bantuan sosial agar benar-benar menjadi jaring pengaman bagi yang membutuhkan. Jangan sampai bansos yang mestinya menyelamatkan, justru menjerumuskan.

Gunakan bantuan sosial sesuai peruntukannya. Jangan pernah gunakan bansos untuk judi daring, karena itu bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati solidaritas bangsa.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute

[edRW]

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.