Jakarta – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 18 Tahun 2017 dinilai sebagai langkah strategis memperkuat pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR RI, Anggota Fraksi Partai Demokrat, Wahyu Sanjaya, menegaskan pentingnya revisi ini untuk memastikan kesejahteraan dan hak-hak para pekerja migran yang kerap menghadapi tantangan serius.
“Sebagai pahlawan devisa, mereka memberikan kontribusi besar bagi ekonomi nasional, tetapi masih menghadapi persoalan dalam pelindungan dan jaminan sosial,” ujarnya.
Wahyu juga menyoroti banyaknya pekerja nonprosedural akibat proses birokrasi yang rumit dan biaya tinggi.
“Kita butuh sistem yang efisien dan transparan agar migrasi tenaga kerja tidak menjebak pekerja dalam situasi merugikan,” tambahnya.
Ia menyebut, dengan revisi ini, proses migrasi akan lebih sederhana, terbuka, dan aman.
Regulasi baru ini juga dinilai mampu memperluas akses kerja ke luar negeri dan memastikan pekerja migran kembali dalam kondisi lebih sejahtera.
Langkah penguatan juga dilakukan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) melalui penandatanganan nota kesepakatan bersama sejumlah kementerian dan lembaga.
Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding, menjelaskan bahwa peningkatan pelatihan dan pendidikan keterampilan merupakan fokus utama pelindungan PMI.
“Saya berharap nota kesepakatan ini segera berkembang menjadi MoU yang ditindaklanjuti di lapangan. Jangan berlama-lama kalau urusannya kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Ia menyebut, pelindungan bagi PMI harus konkret, termasuk dengan memastikan mereka memahami jalur resmi dan menguasai bahasa negara tujuan.
Dari 10 juta PMI, hanya 5,2 juta yang berangkat secara prosedural.
“Ada yang bilang tiap 1 orang resmi, ada 3 yang tidak resmi,” ungkap Karding. Minimnya penguasaan bahasa asing, menurutnya, menjadi salah satu faktor kerentanan pekerja.
Sementara itu, Deputi Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan MoU penempatan PMI sektor domestik di Arab Saudi, yang akan menjamin kontrak kerja yang jelas, gaji transparan, dan perlindungan hukum, khususnya bagi perempuan pekerja sektor informal.
“Kedepannya, yang ditempatkan adalah pekerja berkeahlian menengah ke atas, agar risiko dapat ditekan,” kata Woro.
Menteri Karding menambahkan bahwa reformasi ketenagakerjaan di Arab Saudi, seperti penghapusan sistem Kafala dan penggunaan sistem digital Musaned, menjadi peluang penting.
Pemerintah menargetkan penempatan 450.000 PMI per tahun dengan proyeksi remitansi yang signifikan bagi perekonomian nasional.**
[edRW]