Oleh: Arka Dwi Francesco)*
Provinsi Riau kembali menjadi sorotan nasional akibat meningkatnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat. Data hingga akhir Juli 2025 mencatat 790 hotspot di wilayah tersebut, dengan 27 titik api aktif yang tersebar di berbagai kabupaten. Dalam menyikapi kondisi yang mengkhawatirkan ini, Pemerintah Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Abdul Wahid menetapkan status darurat sejak 22 Juli 2025, setelah sebelumnya berada dalam status siaga darurat yang berkepanjangan. Tindakan cepat ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa penanganan karhutla memerlukan langkah strategis dan responsif.
Wilayah yang terbakar teridentifikasi berada di area konsesi HTI PT. RRP dengan luas sekitar 280 hektar dari total areal 22.930 hektar. Area ini memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi penyuplai utama bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Oleh karena itu, kerugian tidak hanya bersifat ekologis, namun juga berdampak langsung terhadap perekonomian lokal dan nasional. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun melakukan pemetaan ulang terhadap lokasi terbakar dan segera mengintegrasikan data lapangan dalam sistem pengawasan berbasis satelit untuk memastikan titik api tidak berkembang lebih luas.
Salah satu akar permasalahan karhutla adalah praktik pembukaan lahan dengan cara dibakar. Kepala BNPB Suharyanto menegaskan bahwa mayoritas kejadian karhutla di Riau disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab. Pihaknya mencatat sebanyak 35 kejadian tindak pidana pembakaran lahan telah diproses oleh Satgas Penegakan Hukum. Peringatan keras dan himbauan kepada masyarakat untuk segera melapor apabila menemukan aktivitas pembakaran ilegal terus digencarkan.
Tak hanya itu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol memberikan apresiasi terhadap kinerja Polda Riau yang konsisten dan tegas dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku karhutla. Menurutnya, kehadiran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di lokasi terdampak karhutla merupakan bentuk nyata dukungan institusi kepolisian terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Langkah-langkah penegakan hukum tidak berhenti pada proses pidana semata, namun juga mencakup sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020.
Dalam kesempatan yang sama, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan bahwa 46 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus karhutla di Riau. Langkah ini menunjukkan bahwa Polri tidak mentolerir kejahatan lingkungan yang merusak ekosistem dan membahayakan masyarakat. Penetapan puluhan tersangka, termasuk yang terindikasi mewakili kepentingan korporasi, mengirimkan pesan tegas bahwa tidak ada kompromi dalam penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan.
Respons cepat aparat keamanan patut diapresiasi karena mencerminkan keberpihakan negara terhadap perlindungan lingkungan yang berkelanjutan. Keseriusan ini tidak hanya terlihat dari aspek represif, tetapi juga dari sisi pencegahan dan edukasi kepada masyarakat. Kolaborasi antara kepolisian, pemerintah daerah, dan KLHK menjadi kunci dalam mengawal agenda pemulihan lingkungan secara menyeluruh. Pembangunan sistem peringatan dini dan pelatihan komunitas lokal menjadi komponen penting yang terus diperkuat.
Dalam rangka mitigasi bencana, BNPB menginisiasi Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang dilaksanakan selama tujuh hari di wilayah Riau. Operasi ini bertujuan menurunkan hujan buatan melalui penyemaian bahan kimia seperti Natrium Klorida (NaCl) dan Kalsium Oksida (CaO) ke dalam bibit awan hujan. Teknologi ini terbukti mampu mempercepat proses pembentukan awan dan menurunkan hujan di area-area yang mengalami kebakaran, sehingga api dapat segera dipadamkan.
Penggunaan pesawat Cessna untuk kegiatan water bombing juga menjadi bagian dari upaya terpadu dalam penanganan darurat. Aktivitas ini memperlihatkan kesiapan BNPB dalam memanfaatkan teknologi mutakhir guna mengatasi bencana ekologis secara efisien. Penanganan berbasis teknologi tersebut menjadi contoh bagaimana kebijakan pemerintah bertransformasi mengikuti dinamika perubahan iklim dan risiko lingkungan.
Selain OMC, pendekatan ekologis lain juga diperkuat, termasuk rehabilitasi lahan pasca kebakaran dan penyuluhan kepada masyarakat terkait bahaya membuka lahan dengan cara dibakar. Di berbagai desa rawan karhutla, pemerintah bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan kelompok tani dalam memperkenalkan metode pertanian ramah lingkungan. Kesadaran kolektif bahwa hutan bukanlah musuh melainkan aset bersama terus dibangun melalui dialog aktif dan literasi lingkungan.
Penanganan karhutla di Riau membuktikan bahwa sinergi lintas sektor bukan hanya jargon administratif. Tindakan konkret dari berbagai institusi menunjukkan adanya koordinasi yang kuat dalam menjawab tantangan ekologis yang kompleks. Dalam konteks ini, negara hadir tidak hanya dalam bentuk simbolis, tetapi juga lewat kerja nyata yang menjangkau sampai ke desa-desa terdampak.
Riau adalah refleksi dari kondisi kerentanan ekologis di Indonesia. Oleh karena itu, keseriusan pemerintah dalam mengatasi karhutla di provinsi ini patut menjadi model penanganan bencana berbasis kolaborasi dan keadilan ekologis. Dengan mengedepankan langkah hukum, teknologi, dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah telah menempatkan perlindungan lingkungan sebagai prioritas nasional.
*) Penulis Merupakan Pengamat Alam dan Lingkungan Hidup.
[edRW]